You are here
Belajar Tranformasi Demografi dari Asia Timur: Dari Marriage Migration hingga Fenomena Depopulasi
Primary tabs

Tahun 1970-an merupakan awal munculnya urbanisasi besar-besaran di Jepang, Korea, dan Taiwan, yang diakibatkan oleh peluang kerja dan maraknya akselerasi pendidikan ke wilayah kota. Akibatnya, banyak muncul desa-desa yang hanya dihuni oleh kaum lansia, atau bahkan menjadi “desa sepi”. Berkurangnya penduduk secara masif di beberapa negara Asia Timur justru membuka peluang pada munculnya migrasi internasional melalui jalur pernikahan (Marriage Migration), dimana orang-orang dari Asia Timur menikah dengan penduduk dari negara Asia lainnya seperti Indonesia, Vietnam, dan Filipina, serta membawa serta pasangannya ke negara asal untuk mengisi sektor pekerjaan seperti pertanian, perikanan, dan manufaktur. Menariknya, migran perempuan yang menikah dengan pria desa dari Taiwan, Jepang, dan Korea Selatan berperan bukan hanya sebagai pasangan hidup, tetapi juga sebagai ibu, pekerja informal, penggerak ekonomi, hingga pewaris budaya.
Berbagai kajian menarik tentang migrasi yang berdampak tidak hanya secara ekonomi dan demografi, namun juga secara sosial dan kultural ini diulas secara menarik oleh Changzoo Song, Ph.D. dari Auckland University, New Zealand dalam kegiatan Eurasia Lecturer Series #Episode13. Beliau merupakan dosen dan peneliti yang banyak mengkaji tentang Identitas Diaspora Korea, nasionalisme dan transnasionalisme, serta identitas, akulturasi, dan etnis. Salah satu hal menarik dan aspek kritis yang ditekankan oleh Mr. Changzoo adalah Refleksi di balik pembingkaian migran sebagai “penyelamat” desa, ternyata terdapat relasi kuasa yang kompleks. Pekerja migran dan perempuan migran umumnya berasal dari negara-negara yang secara ekonomi dan politik berada dalam posisi subordinat dalam hierarki regional Asia, seperti beberapa negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia.
Sehingga, hal ini menjadi catatan kritis dan refleksi bagi mahasiswa peserta kuliah pemberdayaan masyarakat untuk dapat melihat fenomena dari berbagai sudut dengan lebih tajam. Migrasi yang dianggap penyelamat ekonomi, ternyata memiliki relasi kuasa yang timpang. Mahasiswa dilatih untuk merancang perubahan ke arah inklusif dan model kewargaan yang lebih humanis. Fenomena ini menjadi gambaran dari pentingnya penerapan Sustainable Development (SDGs), khusunya terkait dengan tujuan ke-8 tentang pekerjaan layak dan eprtumbuhan ekonomi dan tujuan ke-10 tentang berkurangnya kesenjangan. Melalui penekanan pada 2 aspek tersebut, diharapkan dapat mengurangi maraknya migrasi transnasional yang justru semakin mempertegas relasi kuasa antar negara (negara maju terhadap negara berkembang). Upaya lain yang dilakukan adalah dengan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan pada setiap negara melalui konsep pemberdayaan masyarakat. (SGA)
Link Terkait
Sistem Informasi
Kontak Kami
Channel Dilogi
Podcast Dilogi
Copyright © 2025,